HOME

Minggu, 17 April 2011

Konsep Menstruasi

A.     Konsep Menstruasi
1.      Pengertian Menstruasi
Secara syariat islam, kata haid secara bahasa adalah bentuk mashdar dari kata haadha yang berarti as-sailaan (mengalir) dan bersifat ‘urf (kebiasaan, waktu terjadinya dapat diketahui dan diperkirakan) sehingga secara keseluruhan haid diartikan mengalirnya darah pada perempuan dari tempat yang khusus (pada tubuhnya) dalam waktu-waktu yang diketahui.
Sedangkan secara medis, kata haid berarti perdarahan secara periodic (pada waktu-waktu tertentu) dan siklik (secara berulang-ulang) dari uterus seorang wanita disertai deskuamasi, yaitu proses perontokan atau peluruhan atau penglepasan jaringan tubuh dari lapisan endometrium uterinya.
Darah haid yang dikeluarkan dari vagina merupakan darah campuran yang terdiri atas darah 50-80 %, hasil campuran dari peluruhan lapisan endometrium uteri, bekuan darah, yang telah mengalami proses hemolisis dan aglutinasi, sel-sel epitel dan stroma (jaringan ikat pada organ tubuh) dan dinding uterus dan vagina yang mengalami disintegrasi dan otolisis, cairan dan lendir (terutama yang dikeluarkan dari dinding uterus, vagina, dan vulva), serta beberapa bakteri dan mikroorganisme yang senantiasa hidup di beberapa daerah kemaluan wanita (flora normal), seperti basil doderleine, streptokokus,  stafilokokus, difteropid, dan echerichia (Hendrik, 2006:95).
2.      Siklus Menstruasi
Ditinjau dari segi medis mekanisme perdarahan haid dari seorang wanita ini terjadi selama lebih kurang satu minggu, diakibatkan oleh pengaruh aktivitas hormonal tubuh dan dapat disertai dengan timbulnya beberapa keluhan yang menyertainya, yaitu keputihan, perasaan nyeri atau panas (terutama di sekitar perut bagian tengah-bawah dan kemaluan), ketidakstabilan emosi, lemas, tidak bergairah, dan penambahan atau penurunan nafsu makan.
Mekanisme terjadinya perdarahan haid secara medis belum diketahui seluruhnya, tetapi ada beberapa faktor yang memainkan peranan penting dalam terjadinya proses perdarahan haid tersebut, yaitu faktor-faktor enzim, pembuluh darah, hormone prostaglandin, dan hormon-hormon seks steroid (estrogen dan progesterone­)
Mekanisme terjadinya perdarahan haid secara singkat dapat dijelaskan melalui proses-proses yang terjadi dalam satu siklus haid yang terdiri atas empat fase, yaitu:
a.      Fase Proliferasi
Dinamakan juga fase folikuler, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) ketika ovarium beraktivitas membentuk dan mematangkan folikel-folikelnya serta uterus beraktivitas menumbuhkan lapisan endometriumnya yang mulai pulih dan dibentuk pada fase regenerasi atau pascahaid.
Pada siklus haid klasik, fase proliferasi berlangsung setelah perdarahan haid berakhir, dimulai pada hari ke-5 sampai 14 (terjadinya proses evolusi). Fase proliferasi ini berguna untuk menumbuhkan lapisan endometrium uteri agar siap menerima sel ovum yang telah dibuahi oleh sel sperma, sebagai persiapan terhadap terjadinya proses kehamilan.
Pada fase ini terjasi pematangan folikel-folikel di dalam ovarium akibat pengaruh aktivitas hormone FSH yang merangsang folikel-folikel tersebut untuk menyintesis hormone estrogen dalam jumlah yang banyak. Peningkatan pembentukan dan pengaruh dari aktivitas hormone FSH pada fase ini juga mengakibatkan terbentuknya banyak reseptor hormone LH dilapisan sel-sel granulose dan cairan folikel-folikel dalam ovarium. Pembentukan hormone estrogen yang terus meningkat tersebut—sampai kira-kira pada hari ke-13 siklus haid (menjelang terjadinya proses ovulasi)—akan mengakibatkan terjadinya pengeluaran hormone LH yang banyak sebagai manifestasi umpan balik positif dari hormone estrogen (positive feed back mechanism) terhadap adenohipofisis.
Pada saat mendekati masa terjadinya proses ovulasi, terjadi peningkatan kadar hormone LH di dalam serum dan cairan folikel-folikel ovarium yang akan memacu ovarium untuk mematangkan folikel-folikel yang dihasilkan di dalamnya sehingga sebagian besar folikel di ovarium diharapkan mengalami pematangan (folikel de Graaf). Disamping itu, akan terjadi perubahan penting lainnya, yaitu peningkatan konsentrasi hormone estrogen secara perlahan-lahan, kemudian melonjak tinggi secara tiba-tiba pada hari ke-14 siklus haid klasik (pada akhir fase proliferasi), biasanya terjadi sekitar 16-20 jam sebelum pecahnya folikel de Graaf, diikuti peningkatan dan pengeluaran hormone LH dari adenohipofisis, perangsangan peningkatan kadar hormone progesterone, dan peningkatan suhu basal badan sekitar 0,5°C. Adanya peningkatan pengeluaran kadar hormone LH yang mencapai puncaknya (LH-Surge), estrogen dan progesterone menjelang terjadinya proses tersebut di ovarium pada hari ke-14 siklus haid.
Di sisi lain, aktivitas hormone estrogen yang terbentuk pada fase proliferasi tersebut dapat mempengaruhi tersimpannya enzim-enzim dalam lapisan endometrium uteri serta merangsang pembentukan glikogen dan asam-asam mukopolisakarida pada lapisan tersebut. Zat-zat ini akan turut serta dalam pembentukan dan pembangunan lapisan endometrium uteri, khususnya pembentukan stroma di bagian yang lebih dalam dari lapisan endometrium uteri. Pada saat yang bersamaan terjadi pembentukan system vaskularisasi ke dalam lapisan fungsional endometrium uteri.
Selama fase prolferasi dan terjadinya proses ovulasi—di bawah pengaruh hormone estrogen—terjadi pengeluaran getah atau lendir dari dinding serviks uteri dan vagina yang lebih encer dan bening. Pada saat ovulasi getah tersebut mengalami penurunan konsentrasi protein (terutama albumin), sedangkan air dan musin (pelumas) bertambah berangsur-angsur sehingga menyebabkan terjadinya penurunan viskositas dari getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vaginanya tersebut. Peristiwa ini diikuti dengan terjadinya proses-proses lainnya di dalam vagina, seperti peningkatan produksi asam laktat dan menurunkan nilai pH (derajat keasaman), yang akan memperkecil resiko terjadinya infeksi di dalam vagina. Banyaknya getah yang dikeluarkan dari daerah serviks uteri dan vagina tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya kelainan yang disebut keputihan karena pada flora normal di dalam vagina juga terdapat microorganisme yang bersifat pathogen potensial. Sebaliknya, sesudah terjadinya proses ovulasi (pada awal fase luteal)—di bawah pengaruh hormone progesterone—getah atau lendir yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vagina menjadi lebih kental dan keruh.
Setelah terjadinya proses ovulasi, getah tersebut mengalami perubahan kembali dengan peningkatan konsentrasi protein, sedangkan air dan musinnya berkurang berangsur-angsur sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan viskositas dan pengentalan dari getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vaginanya. Dengan kata lain, pada fase ini merupakan masa kesuburan wanita.
b.     Fase Luteal
Dinamakan juga fase sekresi atau fase prahaid, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) ketika ovarium beraktivitas membentuk korpus luteum dari sisa-sisa folikel matangnya (folikel de Graaf) yang sudah mengeluarkan sel ovumnya pada saat terjadinya ovulasi dan menghasilkan hormone progesterone yang akan digunakan sebagai penunjang lapisan endometrium uteri untuk bersiap-siap menerima hasil konsepsi (jika terjadi kehamilan) atau melakukan proses deskuamasi dan penghambatan masuknya sel sperma (jika tidak terjadi kehamilan). Pada hari ke-14 (setelah terjadinya proses ovulasi) sampai hari ke-28, berlangsung fase luteal. Pada fase ini mempunyai ciri khas tertentu, yaitu terbentuknya
Peningkatan produksi hormone progesterone yang telah dimulai sejak akhir fase folikuler akan terus berlanjut sampai akhir fase folikuler akan terus berlanjut sampai akhir fase luteal. Hal ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas hormone estrogen dalam menyintesis reseptor-reseptornya (reseptor hormone LH dan progesterone) di ovarium dan terjadinya perubahan sintesis hormon-hormon seks steroid (hormone estrogen menjadi hormone progesterone) di dalam sel-sel granulose ovarium. Perubahan ini secara normal mencapai puncaknya pada hari ke-22 siklus haid klasik karena pada masa ini pengaruh hormone progesterone terhadap lapisan endometrium uteri paling jelas terlihat. Jika proses nidasi tersebut tidak terjadi, hormone estrogen dan progesterone akan menghambat sintesis dan aktivitas hormone FSH dan LH di adenohipofisis sehingga membuat korpus luteum menjadi tidak dapat tumbuh dan berkembang kembali, bahkan mengalami penyusutan dan selanjutnya menghilang. Di sisi lain, pada masa menjelang terjadinya perdarahan haid, pengaruh aktivitas hormone progesterone tersebut juga akan menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah yang diikuti dengan dengan terjadinya ischemia dan nekrosis pada sel-sel dan jaringan endometrium uterinya sehingga memungkinkan terjadinya proses deskuamasi lapisan endometrium uteri yang disertai dengan terjadinya perdarahan dari daerah tersebut yang dikeluarkan melalui vagina. Akhirnya, bermanifestasi sebagai perdarahan haid.
Pada saat setelah terjadinya proses ovulasi di ovarium, sel-sel granulosa ovarium akan berubah menjadi sel-sel luteal ovarium, yang berperan dalam peningkatan pengeluaran hormon progesteron selama fase luteal siklus haid. Faktanya menunjukan bahwa salah satu peran dari hormon progesteron adalah sebagai pendukung utama terjadinya proses kehamilan. Apabila proses kehamilan tersebut tidak terjadi, peningkatan hormon progesteron yang terjadi tersebut akan mengikuti terjadinya penurunan hormon LH dan secara langsung hormon progesteron (bersama dengan hormon estrogen) akan melakukan penghambatan terhadap pengeluaran hormon FSH, LH, dan LHRH, yang derajat hambatannya bergantung pada konsentrasi dan lamanya pengaruh hormon progesteron tersebut. Kemudian melalui mekamisme ini secara otomatis hormon-hormon progesteron dan estrogen juga akan menurunkan pengeluaran hormon LH, FSH, dan LHRH tersebut sehingga proses sintesis dan sekresinya dari ketiga hormon hipofisis tersebut, yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan folikel-folikel dan proses ovulasi di ovarium selama fase luteal, akan berkurang atau berhenti, dan akan menghambat juga perkembangan dari korpus luteum. Pada saat bersamaan, setelah terjadinya proses ovulasi, kadar hormon estrogen mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya puncak peningkatan kadar hormon LH dan aktivitasnya yang terbentuk ketika proses ovulasi terjadi dan berakibat terjadi proliferasi dari sel-sel granulosa ovarium, yang secara langsung akan menghambat dan menurunkan proses sintesis hormon estrogen dan FSH serta meningkatkan pembentukan hormon progesteron di ovarium.
Di akhir fase luteal, terjadi penurunan reseptor-reseptor dan aktivitas hormon LH di ovarium secara berangsur-angsur, yang diikuti penurunan proses sintesis hormon-hormon FSH dan estrogen yang telah terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, pada masa akhir fase luteal akan terjadi pembentukan kembali hormon FSH dan estrogen dengan aktivitas-aktivitasnya di ovarium dan uterus.
Beberapa proses lainnya yang terjadi pada awal sampai pertengahan fase luteal adalah terhentinya proses sintesis enzim-enzim dan zat mukopolisakarida yang telah berjalan sebelumnya sejak masa awal fase proliferasi. Akibatnya, terjadi peningkatan permeabilitas (kebocoran) dari pembuluh-pembuluh darah di lapisan endometrium uteri yang sudah berkembang sejak awal fase proliferasi dan banyak zat-zat makanan yang terkandung di dalamnya mengalir menembus langsung stroma dari lapisannya tersebut. Proses tersebut dijadikan sebagai persiapan lapisan endometrium uteri untuk melakukan proses nidasi terhadap hasil konsepsi yang terbentuk jika terjadi proses kehamilan. Jika tidak terjadi proses kehamilan, enzim-enzim dan zat mukopolisakarida tersebut akan dilepaskan dari lapisan endometrium uteri sehingga proses nekrosis dari sel-sel dan jaringan pembuluh-pembuluh darah pada lapisan tersebut. Hal itu menimbulkan gangguan dalam proses terjadinya metabolisme sel dan jaringannya sehingga terjadi proses regresi atau deskuamasi pada lapisan tersebut dan disertai perdarahan.
Pada saat yang bersamaan, peningkatan pengeluaran dan pengaruh hormon progesteron (bersama dengan hormon estrogen) pada akhir fase luteal akan menyebabkan terjadinya penyempitan pembuluh-pembuluh darah di lapisan endometrium uteri, yang kemudian dapat menimbulkan terjadinya proses ischemia di lapisan tersebut sehingga akan menghentikan proses metabolisme pada sel dan jaringannya. Akibatnya, terjadi regresi atau deskuamasi pada lapisan tersebut disertai perdarahan. Perdarahan yang terjadi ini merupakan manifestasi dari terjadinya perdarahan haid.
c.      Fase Menstruasi
Dinamakan juga fase deskuamasi atau fase haid, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) terjadinya proses deskuamasi pada lapisan endometrium uteri disertai pengeluaran darah dari dalam uterus dan dikeluarkan melalui vagina.
Pada akhir fase luteal terjadi peningkatan hormon estrogen yang dapat kembali menyebabkan perubahan sekretorik pada dinding uterus dan vagina, berupa peningkatan produksi dan penurunan konsentrasi getah yang dikeluarkan dari serviks uteri dan vagina serta peningkatan konsentrasi glikogen dalam serviks uteri dan vagina. Hal ini memungkinkan kembali terjadinya proses peningkatan pengeluaran getah yang lebih banyak dari serviks uteri dan vaginanya serta keputihan.
Pada saat akhir fase luteal, peningkatan kadar dan aktivitas hormon estrogen yang terbentuk kembali masih belum banyak sehingga terjadinya proses-proses perangsangan produksi asam laktat oleh bakteri-bakteri flora normal dan penurunan nilai derajat keasaman, yang diharapkan dapat menurunkan resiko terjadinya infeksi di dalam vagina menjadi tidak optimal, dan ditambah penumpukan getah yang sebagian besar masih dalam keadaan mengental. Oleh karena itu, pada saat menjelang proses perdarahan haid tersebut, daerah vagina menjadi sangat beresiko terhadap terjadinya penularan penyakit (infeksi) melalui hubungan persetubuhan (koitus).
Terjadinya pengeluaran getah dari serviks uteri dan vagina tersebut sering bercampur dengan pengeluaran beberapa tetesan darah yang sudah mulai keluar menjelang terjadinya proses perdarahan haid dari dalam uterus dan menyebabkan terlihatnya cairan berwarna kuning dan keruh, yang keluar dari vaginanya. Sel-sel darah merah yang telah rusak dan terkandung dari cairan yang keluar tersebut akan menyebabkan sifat bakteri-bakteri flora normal yang ada di dalam vagina menjadi bersifat infeksius (patogen potensial) dan memudahkannya untuk berkembang biak dengan pesat di dalam vagina. Bakteri-bakteri infeksius yang terkandung dalam getah tersebut, kemudian dikeluarkan bersamaan dengan pengeluaran jaringan dari lapisan endometrium uteri yang mengalami proses regresi atau deskuamasi dalam bentuk perdarahan haid atau dalam bentuk keputihan yang keluar mendahului menjelang terjadinya haid.
Pada saat bersamaan, lapisan endometrium uteri mengalami iskhemia dan nekrosis, akibat terjadinya gangguan metabolisme sel atau jaringannya, yang disebabkan terhambatnya sirkulasi dari pembuluh-pembuluh darah yang memperdarahi lapisan tersebut akibat dari pengaruh hormonal, ditambah dengan penonjolan aktivasi kinerja dari prostaglandin F(PGF) yang timbul akibat terjadinya gangguan keseimbangan antara prostaglandin E2(PGE2) dan F (PGF) dengan prostasiklin (PGI2), yang disintesis oleh sel-sel endometrium uteri (yang telah mengalami luteinisasi sebelumnya akibat pengaruh dari homogen progesteroon). Semua hal itu akan menjadikan lapisan edometrium uteri mengalami nekrosis berat dan sangat memungkinkan untuk mengalami proses deskuamasi.
Pada fase menstruasi ini juga terjadi penyusutan dan lenyapnya korpus luteum ovarium (tempat menetapnya reseptor-reseptor serta terjadinya proses pembentukan dan pengeluaran hormon progesteron dan LH selama fase luteal).
d.     Fase Regenerasi
Dinamakan juga fase pascahaid, yaitu suatu fase yang menunjukan waktu (masa) terjadinya proses awal pemulihan dan pembentukan kembali lapisan endometrium uteri setelah mengalami proses deskuamasi sebelumnya. Bersamaan dengan proses regresi atau deskuamasi dan perdarahan haid pada fase menstruasi tersebut, lapisan endometrium uteri juga melepaskan hormon prostaglandin E2 dan F2, yang akan mengakibatkan berkontraksinya lapisan mimometrium uteri sehingga banyak pembuluh darah yang terkandung di dalamnya mengalami vasokontriksi, akhirnya akan membatasi terjadinya proses perdarahan haid yang sedang berlangsung.
Di sisi lain, proses penghentian perdarahan haid ini juga didukung oleh pengaktifan kembali pembentukan dan pengeluaran hormon FSH dan estrogen sehingga memungkinkan kembali terjadinya pemacuan proses proliferasi lapisan endometrium uteri dan memperkuat kontraksi otot-otot uterusnya. Hal ini secara umum disebabkan oleh penurunan efek hambatan terhadap aktivitas adenohipofisis dan hipotalamus yang dihasilkan dari hormon progesteron dan LH (yang telah terjadi pada fase luteal), saat terjadinya perdarahan haid pada fase menstruasi sehingga terjadi pengaktifan kembali dari hormon-hormon LHRH, FSH, dan estrogen. Kemudian bersamaan dengan terjadinya proses penghentian perdarahan haid ini, dimulailah kembali fase regenerasi dari siklus haid tersebut (Hendrik, 2006: 104).
3.      Kelainan pada Menstruasi
Kelainan-kelainan pada saat menstruasi terdiri dari:
1.      Polimenore
Polimenore adalah panjang siklus haid yang memendek dari panjang siklus haid klasik, yaitu kurang dari 21 hari per siklusnya, sementara volume perdarahannya kurang lebih sama atau lebih banyak dari volume perdarahan haid biasanya. Polimenore yang disertai dengan pengeluaran darah haid yang lebih banyak dari biasanya dinamakan polimenoragia (epimenoragia).
Polimenorea dapat disebabkan oleh gangguan hormonal yang mengakibatkan gangguan pada proses ovulasi atau memendeknya fase luteal dari siklus haid. Penyebab terjadinya polimenore lainnya adalah adanya kongesti (bendungan) pada ovarium yang disebabkan oleh proses peradangan (infeksi, endometriosis, dan sebagainya).
2.      Oligomenore
Oligomenore adalah panjang siklus haid yang memanjang dari panjang siklus haid klasik, yaitu lebih dari 35 hari per siklusnya. Volume perdarahannya umumnya lebih sedikit dari volume pedarahan haid biasanya. Pada kebanyakan kasus oligomenore, kesehatan tubuh wanita tidak mengalami gangguan dan tingkat kesuburannya cukup baik. Siklus haid biasanya juga bersifat ovulatoar dengan fase proliferasi yang lebih panjang dibanding fase proliferasi siklus haid klasik.
3.      Amenore
Amenore adalah panjang siklus haid yang memanjang dari panjang siklus haid klasik (oligominore) atau tidak terjadinya perdarahan haid, minimal 3 bulan berturut-turut. Terjadinya amenore dan oligomenore sering kali mempunyai penyebab yang sama.
4.      Hipermenore
Hipermenore adalah terjadinya perdarahan haid yang terlalu banyak dari normalnya dan lebih lama dari normalnya (lebih dari 8 hari). Hipermenore dapat disebabkan oleh kelainan uterus, seperti tumor uterus (mioma uteri) dengan permukaan endometrium uteri yang lebih luas dari biasanya, gangguan kontraksi uterus, adanya polip endometrium uteri, dan gangguan pelepasan lapisan endometrium uteri pada saat terjadinya perdarahan haid (irregular endometrial shedding).
5.      Hipomenore
Hipomenore adalah perdarahan haid yang lebih sedikit dari biasanya, tetapi tidak mengganggu fertilisasinya. Hipomenore dapat disebabkan oleh gangguan hormonal endokrin dan kelainan uterus. Penanganannya adalah pemberian konseling psikoterapi dan penenangan diri.
6.      Dismenore
Dismenore adalah Nyeri kram (tegang) daerah perut mulai terjadi pada 24 jam sebelum terjadinya perdarahan haid dapat bertahan selama 24-36 jam meskipun beratnya hanya berlangsung selama 24 jam pertama saat terjadinya perdarahan haid. Kram tersebut terutama dirasakan di daerah perut bagian bawah, tetapi dapat menjalar ke punggung atau ke permukaan dalam paha. Pada suatu kasus berat ditemukan bahwa nyeri kram dapat disertai muntah dan diare (Hendrik, 2006:122).

B.     Dismenore
1.      Pengertian
Dismenore adalah menstruasi yang nyeri disebabkan oleh kejang otot uterus (Mitayani, 2009:211). Sedangkan menurut Corwin (2001:640), dismenore adalah haid yang nyeri terjadi tanpa tanda-tanda infeksi atau penyakit panggul.
Nyeri kram (tegang) daerah perut mulai terjadi pada 24 jam sebelum terjadinya perdarahan haid dapat bertahan selama 24-36 jam meskipun beratnya hanya berlangsung selama 24 jam pertama saat terjadinya perdarahan haid. Kram tersebut terutama dirasakan di daerah perut bagian bawah, tetapi dapat menjalar ke punggung atau ke permukaan dalam paha. Pada suatu kasus berat ditemukan bahwa nyeri kram dapat disertai muntah dan diare (Hendrik, 2006:119).
2.      Anatomi Uterus
Uterus pada seorang wanita dewasa berbentuk seperti buah alpukat (atau buah peer) yang sedikit gepeng. Ukuran panjang uterus 7-7,5 cm; dan tebal dindingnya 2,5 cm. uterus terdiri atas korpus uteri (pada 2/3 bagian atasnya) dan serviks uteri (pada 1/3 bagian bawahnya)
Pada bagian dalam korpus uteri terdapat kavum uteri yang membuka keluar melalui kanalis servikalis yang terletak di serviks uteri. Bagian bawah serviks uteri yang terletak di vagina dinamakan porsioi uteri (pars vaginalis servisis uteri), sedangkan yang berada di ats vagina disebut pars supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks uteri terdapat bagian yang disebut isthmus uteri.
Bagian atas uterus disebut fundus uteri, tempat tuba fallopi kanan dan kiri masuk ke uterus. Dinding uterus terdiri atas miometrium (lapisan otot pada rahim) yang keseluruhannya dapat berkontraksi dan berelaksasi (melemas). Bagian paling luar uterus (yang merupakan lapisan di luar dari miometrium dan bagian yang langsung ketemu dengan kavum uteri) dilapisi selaput jaringan ikat yang kaya dengan sel-sel epitel kuboid. Kelenjar-kelenjar penghasil lendir, dan pembuluh-pembuluh darah yang berkelok-kelok, yang disebut sebagai lapisan endometrium. Lapisan endometrium uteri yang terdapat pada korpus uteri sangat licin, tetapi di bagian serviks uteri menjadi berkelok-kelok. Bagian uterus yang paling dalam—yang langsung berhubungan dengan rongga abdomen (perut tubuh)—adalah lapisan perimetrium uteri.
Pertumbuhan dan fungsi lapisan endometrium uteri sangat dipengaruhi oleh hormone-hormon seks steroid (estrogen dan progesterone) pada ovarium. Uterus mendapat pendarahan dari uteri uterine, cabang dari arteri iliaka interna (hipogastrika), dan dari arteri ovarika.
Fungsi utama uterus adalah sebagai berikut:
(a)    Berperan dalam terjadinya aktivitas siklus haid setiap bulan.
(b)    Tempat implantasi atau nidasi, tumbuh dan berkembangnya janin (setelah terjadi proses fertilisasi antara sel ovum dan sperma di ampula-infundibulum tuba fallopi).
(c)    Sebagai pendorong (melalui aktivitas kontraksinya) untuk mengeluarkan lapisan endometrium uteri yang rontok (saat siklus haid berlangsung), janin (saat dalam proses persalinan), dan plasenta (saat setelah bersalin)
(d)    Sebagai petunjuk adanya gangguan fungsional dari aktivitas hormone-hormon seks steroid.
(Hendrik, 2006:37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar